Aborsi di Indonesia Antara Tekanan Moral dan Kesejahteraan Lahir Batin
Setiap tahun, tak kurang dari 56 juta kasus aborsi di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), tingkat aborsi mencapai 228 per 100 ribu angka kelahiran hidup.
Menggugurkan kandungan mungkin menjadi pilihan pahit terakhir bagi sebagian orang, tetapi banyak wanita di luar sana yang melihatnya sebagai jalan keluar satu-satunya dari kehamilan yang tidak direncanakan. Apapun alasannya, keputusan untuk menjalankan aborsi tidak pernah semudah membalik telapak tangan. Namun sayang, sampai saat ini akses pelayanan aborsi yang baik sulit untuk didapatkan.
Padahal, menyangkal akses aborsi untuk perempuan yang membutuhkan tak hanya meningkatkan risiko mereka untuk melakukan aborsi ilegal yang mengancam nyawa, namun juga berisiko tinggi untuk mengalami depresi atau gangguan kecemasan dalam jangka panjang.
Bagaimana hukum aborsi di Indonesia?
Hukum aborsi di Indonesia diatur dalam UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Aborsi di Indonesia tidak diizinkan, kecuali untuk situasi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, serta bagi korban perkosaan.
Menggugurkan kandungan dengan alasan keselamatan medis hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari ibu hamil dan pasangannya (kecuali bagi korban perkosaan) dan penyedia layanan kesehatan bersertifikat, serta melalui konseling dan/atau konsultasi pra-tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
Dengan demikian, segala jenis praktik aborsi yang tidak termasuk dalam ketentuan undang-undang di atas merupakan aborsi ilegal. Sanksi pidana bagi aborsi ilegal diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang menetapkan hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. Pasal ini dapat menjerat oknum dokter dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuannya sebagai klien.
Aborsi kerap dianggap tabu oleh masyarakat karena erat kaitannya dengan perzinahan, yang juga sama terlarangnya. Padahal, alasan perempuan menginginkan aborsi tak hanya melulu soal menggugurkan kehamilan di luar nikah.
Kenapa perempuan memilih untuk menggugurkan kandungannya
Kehamilan yang terjadi di waktu dan sikon yang tidak tidak tepat dapat memiliki dampak jangka panjang pada kualitas hidup perempuan untuk ke depannya. Banyak perempuan yang menjadi ibu hamil di usia yang sangat belia, umumnya sebelum menginjak usia 18 tahun atau lulusan SMA. Mahasiswa yang hamil dan melahirkan juga sangat kecil kemungkinannya untuk menyelesaikan jenjang pendidikan mereka daripada rekan-rekan mereka.
Minimnya pendidikan telah disangkut-pautkan dengan keterbatasan lapangan kerja, dan ini bisa menghambat kemampuan perempuan untuk menghidupi keluarga dengan pendapatan yang stabil. Dan ini tak hanya terbatas untuk kehamilan di luar nikah saja.
Di samping itu, wanita lajang yang bekerja lalu hamil dapat menghadapi gangguan dalam stabilitas pekerjaan dan karir mereka. Ini jadi berdampak langsung pada produktivitas mereka, dan mungkin beberapa dari mereka tidak dapat membesarkan anak sendirian Bagi wanita yang sudah memiliki anak lain di rumah atau sedang merawat kerabat yang sudah jompo, pengeluaran biaya ekstra untuk kehamilan/persalinan dapat menyeret keluarga mereka hingga di bawah tingkat kemiskinan sehingga mengharuskan mereka untuk mencari bantuan negara.
Apakah ia seorang siswa SMA atau perguruan tinggi, atau wanita lajang yang penghasilannya hanya cukup untuk hidup mandiri, banyak perempuan yang kekurangan sumber finansial untuk menutupi tingginya biaya yang terkait dengan kehamilan, kelahiran, dan membesarkan anak, terutama jika mereka tidak memiliki asuransi kesehatan.
Menabung untuk bayi adalah satu hal, tetapi kehamilan yang tidak direncanakan menempatkan beban keuangan yang sangat besar pada wanita yang tidak mampu untuk merawat bayi. Apalagi membayar untuk semua jenis kunjungan dokter demi memastikan perkembangan janin yang sehat. Kurangnya perawatan medis yang memadai selama kehamilan menempatkan bayi pada risiko yang lebih tinggi untuk komplikasi selama kelahiran dan pada awal masa tumbuh kembang bayi.
Selain itu, mayoritas perempuan dengan kehamilan yang tidak direncanakan tidak hidup dengan pasangan mereka atau memiliki hubungan berkomitmen. Wanita-wanita ini menyadari bahwa kemungkinan besar mereka akan membesarkan anak mereka sebagai orangtua tunggal. Banyak yang tidak mau mengambil langkah besar ini karena alasan yang dijelaskan di atas: gangguan pendidikan atau karir, keuangan yang tidak memadai, atau ketidakmampuan untuk merawat bayi karena kebutuhan pengasuhan anak-anak atau anggota keluarga lain.
Keterbatasan akses aborsi mempengaruhi kesehatan mental perempuan
Menurut studi terbitan JAMA Psychiatry 2016, perempuan yang melakukan aborsi legal dapat melanjutkan hidup tanpa risiko terkena depresi, kecemasan, atau rendah diri terkait dengan hal. Namun, mereka yang disangkal haknya untuk menjalani prosedur (plus dibayang-bayangi hukuman pidana jika melakukannya secara ilegal) mengalami peningkatan kecemasan dan rasa rendah diri segera setelah ditolak kasusnya.
Tim peneliti asal University of California, San Francisco, telah menyelidiki hampir 1.000 wanita yang mencari aborsi di 21 negara berbeda selama lima tahun terakhir. Perempuan ini kemudian dipecah menjadi dua sub kelompok: mereka yang menerima aborsi, dan mereka yang ditolak karena berada di luar batas gestational hukum negara (24-26 minggu). Para wanita yang ditolak ini kemudian dibagi lagi menjadi kelompok wanita yang akhirnya mengalami keguguran atau mengakses aborsi melalui cara lain, dan wanita yang menjaga kehamilan mereka sampai kelahiran bayi. Setiap enam bulan, peneliti mengamati setiap wanita ini untuk menilai kesehatan mental mereka.
Tak ada yang bisa membuktikan bahwa aborsi menyebabkan depresi, M. Antonia Biggs, seorang psikolog sosial di UCSF dan penulis utama laporan baru yang diterbitkan di JAMA Psychiatry, mengatakan kepada The Daily Beast. Yang ada, justru menyangkal hak perempuan untuk melakukan aborsi bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan mereka.
Kelompok perempuan yang ditolak permohonan aborsinya dan akhirnya tidak melahirkan dilaporkan memiliki tingkat kecemasan paling tinggi, dan rasa harga diri dan kepuasan hidup terendah dalam satu minggu setelah permohonan aborsinya ditolak. Dalam temuan mereka, para peneliti mengemukakan bahwa stress awal adalah mungkin sebagai hasil dari penolakan mentah-mentah tapi masih tetap dihantui oleh alasan untuk mencari aborsi masalah keuangan, masalah hubungan, ada anak-anak, di antaranya.
Selain itu, wanita yang ditolak permohonan aborsinya dihadapkan dengan tantangan tambahan. Meski sangat sedikit aborsi yang dilakukan setelah 16 minggu kehamilan, beberapa wanita harus menunda aborsi karena mereka memiliki masalah dengan cara pembayaran, menemukan spesialis aborsi, yang mungkin harus dicapai dengan perjalanan jauh karena beda provinsi atau daerah tetangga, dan mengumpulkan uang tambahan untuk melakukan perjalalanan tersebut. Lama-kelamaan, tekanan ini dapat berdampak pada kesehatan mentalnya jika kehamilan tersebut tetap diteruskan.
Depresi akibat penolakan aborsi dapat berakibat fatal bagi keselamatan ibu dan janin
Depresi saat hamil yang tidak diobati memiliki potensi risiko berbahaya untuk ibu dan bayi. Depresi yang tidak diobati dapat menyebabkan gizi buruk, perilaku minum minuman keras, merokok, dan kecenderungan bunuh diri, yang kemudian dapat menyebabkan kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, dan masalah perkembangan bayi. Perempuan yang depresi seringnya juga tidak memiliki kekuatan atau keinginan untuk mau merawat dirinya sendiri atau bayi dalam kandungannya
Bayi yang lahir dari ibu depresi mungkin tumbuh kurang aktif, kurang perhatian atau fokus, dan lebih gelisah daripada bayi yang lahir ibu sehat lahir batin. Inilah sebabnya mengapa mendapatkan bantuan yang tepat sangat penting, baik untuk ibu dan bayi.
0 Response to "Aborsi di Indonesia Antara Tekanan Moral dan Kesejahteraan Lahir Batin"
Post a Comment